Sabtu, 09 Oktober 2010

Buku Harian Seorang Guru (5) Mencoba Hal-hal Baru dan Memaknai Tanda-tanda Zaman

Aku tidak akan melupakan peristiwa hari ini. Pak Gito, seorang teman, guru baru, baru mengajar tahun ini. Wajahnya tampak letih, keringat belum kering mengalir dari dahinya. Kutemukan ada cahaya matanya yang tampak kecewa pada dirinya sendiri. Seolah mengerti apa yang terjadi dalam benak pikirannya, dengan enteng sambil menepuk bahunya dan duduk di kursi sebelahnya, kukatakan,”Jangan kuatir.... yang sudah terjadi di kelas, biarlah terjadi, Tuhan yang akan menyempurnakan karya Pak Gito di kelas.” Dengan spontan dia meluruskan badannya, menatap wajahku seolah tak percaya dan berkata,”Apa Bapak tahu kalo saya tidak percaya diri di kelas tadi? Di sepanjang jam saya mengajar, di seluruh kelas yang saya masuki?!”

“Wow... wow... sabar, Pak, saya bukan dukun, dan saya enggak tahu apa yang terjadi di kelas Bapak?”. Dengan mendekatkan kepalanya ia berujar,”Pak, apa yang Bapak bilang, benar, benar sekali, saya kuatir dengan diri saya, apakah saya betul-betul bisa mengajar dengan baik. Saya tidak percaya diri. Saya sudah berusaha menyiapkan serapi mungkin, serajin mungkin, sesemangat mungkin. Saya guru baru! Saya tidak ingin gagal!”

Sambil berjalan, mengajaknya ke kantin sekolah dan sambil makan mie pangsit Tante Lily, siang tadi aku berterus terang pada Pak Gito. Bukan hanya dia yang tidak percaya diri mengajar. Aku pun sering kali mengalami itu, bahkan setelah beberapa tahun mengajar. Bahkan aku tidak yakin apakah yang kuajarkan itu mampu memberi keubahan pada murid-muridku. Sampai aku berserah betul, apa yang kuajarkan adalah apa yang telah Tuhan perintahkan. Berusaha memahami kehendak-Nya, berusaha memahami perintah-Nya, dan ketika merasai ada banyak kelemahan pada diriku, kubilang pada setiap akhir pelajaran, baiklah Tuhan yang menyempurnakannya. Aku sudah berusaha melakukan bagianku.

Sejak itu aku tidak gentar memberi pengajaran di kelasku! Kesulitan demi kesulitan memberikan pengalaman baru. Berusaha memahami setiap kegagalan dan terus melangkah mencoba hal-hal baru! Setiap hari kubilang kepada diri sendiri hingga hari ini, hari di mana kutemui wajah suntrut Pak Gito selepas mengajar tadi. Adalah bijaksana mengajar materi pelajaran yang sesuai dengan tanda-tanda zaman, bisa diterapkan dan mampu menyelesaikan problematika kehidupan sehari-hari. Pengajaran berbasis kasus-kasus kehidupan sehari-hari memberi kesempatan kepada murid-muridku untuk mengembangkan kompetensinya secara maksimal, lebih mendarat, lebih menjawab kebutuhan kekinian bahkan juga keakanan. Media yang tersedia di sekelilingku adalah sarana belajar keterampilan hidup yang menghidupkan. Dan bagai guru baru, setiap hari aku berusaha mempersiapkan pengajaranku, agar aku tidak meremehkan materi yang bakal kusampaikan, dan berusaha percaya diri. Dan percaya Dia yang bakal menyempurnakan kelemahanku ketika aku sudah berusaha serapi, segiat, serajin, dan sesemangat seorang guru baru.

Pak Gito, setiap hari aku adalah guru baru. Aku tidak ingin gagal di kelasku. Aku akan serius menyiapkannya. Serius. Sepertimu!

Buku Harian Seorang Guru (4) Mengajar dengan Jujur dan Tulus

Harus kuakui, tidak semua materi pelajaran telah aku siapkan dengan matang. Untuk menyiapkan malam sebelumnya pun kadang aku sudah kehabisan tenaga, tepatnya, kehabisan semangat. Apalagi kusiapkan jauh-jauh hari, sungguh sangat jarang. Ketika menemui topik yang menyenangkan, kugeber habis tenagaku untuk menyiapkan, tatkala menemui topik yang agak sulit dan tidak begitu menyenangkanku, justru kadang aku lompati, malah aku buang, kuganti topik lain yang aku lebih siap mengajarkannya di depan kelas. Perasaan ini kadang menggangguku, tapi lebih sering kuabaikan, cuek beibeh.......

Sepanjang hari ini, rasanya badan pegal semua. Kalo ada Mak Darsih, pemijat di kampung halamanku sono, pasti ia segera kupanggil untuk memijatku sekarang. Sentuhan lembut dan kuat tangan berkeriputnya membuatku kangen. Aku tidak akan menyalahkan program sekolah, yang 3 hari ini full time kukerjakan, mulai bikin proposal, ndesain acara, nyiapkan pengisi acara, ngatur murid ndekor, hubungi perusahaan yang ngasih sponsor, ngoordinasi anak OSIS, dan sa-abreg lainnya. Ini toh sudah tugasku, mustinya aku minum vitamin tiap hari, tapi jatah dana obat sudah habis bulan kemarin.

Betul kata Pendeta Secundarius Wahyudi, temanku Guru Agama yang sangat kreatif itu. Kejujuran dan ketulusan dalam pembelajaran di kelas akan membuka hati setiap murid untuk bersikap terbuka, merangsang keberanian berprakarsa, tidak berpura-pura, dan apa adanya. Potensi tersembunyi si murid dapat terlihat karena ia jauh dari ‘rasa takut, tidak berani mencoba, rasa malu, enggan, tidak bersemangat, dan tidak konsentrasi’. Karena gurunya lebih dahulu berkata, ”Cobalah, rasailah kegagalan supaya kau tahu apa rasa keberhasilan! Jangan takut, bertanyalah terus, dan lakukanlah. Aku di sampingmu!”

Alangkah baiknya aku mengajarkan materi pelajaran yang telah aku lakukan dan aku kuasai. Aku persiapkan dengan matang, dan aku plan jauh-jauh hari. Dan mengatakan terus terang apabila aku masih mengumpulkan data untuk memuaskan pertanyaan murid-muridku. Dari pada memberi jawaban ngawur atau berkata tidak tahu. Aku tidak ingin menunda sampai esok lusa! Besok aku harus siap dengan jawaban lengkap yang perlu diketahuinya. Dan akan kukatakan dengan jujur dan tulus, bahwa baru sampai sekian aku mengetahuinya.

Apakah seorang guru mutlak mengetahui segalanya? Kupikir tidak, tapi seorang guru mutlak harus memandu murid-muridnya menemukan jawaban dari segala sumber yang ada.

Oh, penatnya hari ini. Mak Darsih.....!

Buku Harian Seorang Guru (3) Mengajar untuk Melenyapkan Kelemahan

Sabar....sabar.....sabar...... begitu yang terus kubilang saat mengajar materi penting hari ini di kelasku. Si Romy, keturunan Ningrat dari Surokarto itu memang muridku yang sangat istimewa. Tatkala hampir tuntas materi, tinggal pokok bahasan terakhir, aku sempatkan bertanya untuk kali kesekian pada murid-muridku, “Ada pertanyaan, Anak-anak?” Kupandang seluruh kelas, sesaat senyap, tak ada yang mengangkat tangan dan menunjuk atap kelas yang sudah mulai lubang di sana-sini. “Ada, Pak” sahut suara kecil agak melengking dari arah pojok kanan, Si Romy. “Apakah boleh diulang lagi bagian terakhir tadi, Pak? Saya tidak ngerti.” Segera kuulang penjelasanku tadi, dan kuberi tekanan pada bagian-bagian yang sangat penting, dengan harapan murid lelakiku yang paling kecil tapi bersuara paling melengking ini bisa lebih paham dan tidak menyimpan ketidakmengertian. “Sudah jelas, Rom?” “Belum, Pak, masih belum ngerti.” Tidak ada ekspresi wajah yang berusaha mempermainkan guru, tak ada juga rona kebandelan tuk menggoda guru, yang kulihat memang betul-betul tak dimengertinya penjelasanku tadi. “Ini terakhir Bapak jelaskan hari ini di kelas, tapi kalo tetap belum mengerti, nanti bapak layani lagi di luar jam ya...” Dan mulailah aku menerangkan lagi.... Peristiwa hari ini, adalah untuk kesekian kali, penjelasan ulang, untuk Si Romy yang istimewa dalam menangkap materi, perlu diperjelas berulang kali hingga mengerti. Dan aku menuntut diri untuk mencari cara lain yang lebih efektif, untuk membuatnya lebih mudah mengerti.

Kisah Si Romy dan murid-muridku yang serupa, ada banyak di kelas lain, membawa pesan penting hari ini. Aku jadi ingat nasihat Pak Adi Pratjaja, dosen Agama di kampus IKIP Malang dua pulu dua tahun lalu. Ada harga yang harus dibayar mahal oleh seorang guru yang ingin bertahan sampai garis akhir. Selain sanksi yang besar – karena apa yang dikatakan tidak sesuai dengan apa yang dilakukan -, upah yang diterima pun lebih kecil dari beban yang harus ditanggungnya. Mengajar murid, tidak berhenti sampai di jam pelajaran berakhir. Kadang masih harus menyisihkan waktu makan siang untuk membantu mereka paham. Kadang waktu untuk keluarga makin berkurang karena tak kuasa menolak pertanyaan dari mereka pascabel pulang.

Sudah seharusnya aku melakukan identifikasi murid-muridku. Di mana letak kelebihan dan kekurangan mereka. Belajar adalah mengalami kemajuan dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak baik menjadi baik. Mengajar bukanlah sekadar menyampaikan pesan, tapi lebih dari itu, mengajar adalah mentransformasi kehidupan. Bukan transfer pengetahuan, apalagi transaksi ilmu. Ada murid ‘tidak pintar’ dan ‘tidak baik’ mendaftar sekolah; seyogyanya kita terima dan kita sambut ramah! Untuk itu sebuah profesi GURU dilahirkan. Sayang, sekolah sekarang malah prioritaskan mencari murid pintar saja. Enggan terima murid ‘bodoh’ menurut anggapan orang. Apalagi menerima murid yang ‘bermasalah’ dengan sikap dan kelakuan. Menolak mereka adalah salah kaprah! Sekolah ada untuk mereka. Guru ada untuk mereka. Aku ada untuk mereka.

Aduuuh beratnya tugas ini......... Ayo semangat.....semangat! Begitulah aku berteriak kepada diriku sendiri malam ini, sebelum esok menghadapi masalah baru lagi.

Buku Harian Seorang Guru (2) Mengajar dengan Kuasa

Sebagai guru aku mengerti kalau Tuhan memperlengkapiku dengan keterampilan dan kuasa yang kubutuhkan agar kata-kataku memiliki otoritas. Setiap muridku yang mendengar kata-kataku tentu meyakini bahwa pesanku emang layak dilakukan. Tapi terus terang..., sebenarnya aku tidak benar-benar mengerti hal ini sampai hari ini ........

Hari ini aku sudah siapkan perangkat mengajar, media LCD berikut laptop di meja guru. Murid-murid udah kusiapkan untuk materi hari ini. Bentuk evaluasinya pun mereka udah tahu sejak minggu lalu. Yang lupa kusiapkan adalah aku tidak berdoa untuk flashdiskku. Flashdisk yang udah kusiapkan sejak dari rumah, sekarang tidak bisa jalan. Ngadat! Alamak.... alamat buyar seluruh persiapan ngajarku. Hari ini aku harus presentasi 30 menit sebelum 60 menit berikutnya murid-muridku memraktekkan cooperative learning model diskusi dan presentasi kelompok. Dan gambar-gambar animasi berikut sound dan link ke resources internet ada dalam flashdisk itu...... Oh, baru kusadari alat apa pun yang kupakai mengajar harus kusiapkan dan tentu mohon Tuhan memberkatinya lebih dulu, agar aku lancar menggunakannya. Sekarang.... diotak-atik juga tetap tak bisa connecting.

Baiklah, aku harus menggunakan cara lain, model lain, metode lain. Peragaan monoplay singkat, memancing pengalaman siswa supaya mau sharing tentang hal yang ia tahu, dan harapannya tentang materi itu. Dan dalam nama-Nya aku mulai berbicara.... Wow..... Tuhan menolongku! Tuhan yang mengajar murid-muridku dengan caranya yang ajaib. Model belajar presentasi kelompok berubah menjadi model diskusi Jigsaw. Dan aku tak membutuhkan LCD. Aku hanya membutuhkan kuasa Tuhan untuk mengajar kelasku.

Hari ini aku belajar bahwa aku mustinya punya kuasa untuk berbicara karena aku telah lebih dulu mempersilakan Tuhan bekerja. Isi pengajaran memang harus menarik. Sistematika penyajian memang harus runtut atau sistematis. Metode harus sangat variatif dan murid perlu dihargai dengan dilibatkan dalam proses belajar. Tetapi perkataan lembut seorang guru lebih mendinginkan hati yang penuh amarah, hati kuatir, hati takut, & hati cemburu. Kerendahhatian mencegah perasaan takabur & sombong, memberi kewaspadaan, kecermatan, & memberi kesempatan Kuasa Tuhan yang bekerja. Mengajar adalah menyembuhkan luka batin diri sendiri lebih dulu, baru mendampingi murid agar murid bisa menyembuhkan diri sendiri. Namun adalah baik, meski guru sedang terluka pun, ia tetap memulihkan muridnya.

Hari ini aku mengajar dengan Kuasa-Nya, karena Ia berkenan menolongku. Ia mengingatkanku sesempurna apapun persiapanku, jika tanpa Kuasa-Nya aku tak akan bisa menyelesaikan tugas mengajarku. Setiap jam mengajar adalah waktu penting untuk belajar melangkah dengan-Nya. Baru kusadari masih banyak hal yang belum ku tahu. Sebagai guru yang mengajar aku harus tetap belajar.

Terima kasih, Tuhan.

Buku Harian Seorang Guru (1) Mengajar dengan Hikmat

Meski sudah jadi guru bertahun-tahun, susah benar aku mengontrol mulutku ini. Jadi ingat ungkapan “mulutku adalah harimauku”. Semua yang sudah kubangun baik-baik, dalam waktu singkat bisa rusaklah segera, hanya karena aku yang tak bisa mengontrol emosiku. Muridku, Si Ujang bikin gara-gara hari ini. Udah 2 guru dan 5-6 temannya dia godain hari ini, sampai Si Santi, gadis cantik anak Bu Lurah itu sampai nangis hari ini, eh masih mau main-main pula Si Ujang di jam pelajaranku. Kusemprotlah dia, Si Ujang itu. Eits....., aku sendiri tidak mengira betapa kasar kata-kataku, kulihat dia tertunduk, tak mau dia memandangku. Kasihan benar dia, maunya sih aku minta maaf, tapi aku kan guru, ah.... jadi tambah ‘kemaki’ dia nanti.

Ah...... baru kusadari ..... hari ini aku belajar tentang mengontrol kata-kataku. Besok pagi aku harus bersikap lebih rendah hati kepada murid-muridku. Aku akan minta maaf, kepada Ujang karena kata-kata kasarku. Pastilah, murid-muridku lebih suka ’melihat’ teladan pengajaran daripada ’mendengar’ materi pelajaran. Mereka pasti lebih suka kalau aku bisa memraktekkan kesabaran daripada harus menunjukkan kemarahan. Mereka lebih suka guru yang ’menemaninya’ berjalan daripada guru yang ’menunjukkan’ jalan. Aku besok akan ‘menemaninya berjalan’, dengan menjadi model yang bisa diteladani, bukan karena kata-kataku, tapi karena apa yang kulakukan. Pasti masih ada cara lain untuk menunjukkan sebuah ketegasan tanpa harus marah tiap hari.

Terima kasih, Ujang. Eh.... kok malah ingat Ujang lagi......