Sabtu, 09 Oktober 2010

Buku Harian Seorang Guru (1) Mengajar dengan Hikmat

Meski sudah jadi guru bertahun-tahun, susah benar aku mengontrol mulutku ini. Jadi ingat ungkapan “mulutku adalah harimauku”. Semua yang sudah kubangun baik-baik, dalam waktu singkat bisa rusaklah segera, hanya karena aku yang tak bisa mengontrol emosiku. Muridku, Si Ujang bikin gara-gara hari ini. Udah 2 guru dan 5-6 temannya dia godain hari ini, sampai Si Santi, gadis cantik anak Bu Lurah itu sampai nangis hari ini, eh masih mau main-main pula Si Ujang di jam pelajaranku. Kusemprotlah dia, Si Ujang itu. Eits....., aku sendiri tidak mengira betapa kasar kata-kataku, kulihat dia tertunduk, tak mau dia memandangku. Kasihan benar dia, maunya sih aku minta maaf, tapi aku kan guru, ah.... jadi tambah ‘kemaki’ dia nanti.

Ah...... baru kusadari ..... hari ini aku belajar tentang mengontrol kata-kataku. Besok pagi aku harus bersikap lebih rendah hati kepada murid-muridku. Aku akan minta maaf, kepada Ujang karena kata-kata kasarku. Pastilah, murid-muridku lebih suka ’melihat’ teladan pengajaran daripada ’mendengar’ materi pelajaran. Mereka pasti lebih suka kalau aku bisa memraktekkan kesabaran daripada harus menunjukkan kemarahan. Mereka lebih suka guru yang ’menemaninya’ berjalan daripada guru yang ’menunjukkan’ jalan. Aku besok akan ‘menemaninya berjalan’, dengan menjadi model yang bisa diteladani, bukan karena kata-kataku, tapi karena apa yang kulakukan. Pasti masih ada cara lain untuk menunjukkan sebuah ketegasan tanpa harus marah tiap hari.

Terima kasih, Ujang. Eh.... kok malah ingat Ujang lagi......

Tidak ada komentar: