Sabtu, 09 Oktober 2010

Buku Harian Seorang Guru (3) Mengajar untuk Melenyapkan Kelemahan

Sabar....sabar.....sabar...... begitu yang terus kubilang saat mengajar materi penting hari ini di kelasku. Si Romy, keturunan Ningrat dari Surokarto itu memang muridku yang sangat istimewa. Tatkala hampir tuntas materi, tinggal pokok bahasan terakhir, aku sempatkan bertanya untuk kali kesekian pada murid-muridku, “Ada pertanyaan, Anak-anak?” Kupandang seluruh kelas, sesaat senyap, tak ada yang mengangkat tangan dan menunjuk atap kelas yang sudah mulai lubang di sana-sini. “Ada, Pak” sahut suara kecil agak melengking dari arah pojok kanan, Si Romy. “Apakah boleh diulang lagi bagian terakhir tadi, Pak? Saya tidak ngerti.” Segera kuulang penjelasanku tadi, dan kuberi tekanan pada bagian-bagian yang sangat penting, dengan harapan murid lelakiku yang paling kecil tapi bersuara paling melengking ini bisa lebih paham dan tidak menyimpan ketidakmengertian. “Sudah jelas, Rom?” “Belum, Pak, masih belum ngerti.” Tidak ada ekspresi wajah yang berusaha mempermainkan guru, tak ada juga rona kebandelan tuk menggoda guru, yang kulihat memang betul-betul tak dimengertinya penjelasanku tadi. “Ini terakhir Bapak jelaskan hari ini di kelas, tapi kalo tetap belum mengerti, nanti bapak layani lagi di luar jam ya...” Dan mulailah aku menerangkan lagi.... Peristiwa hari ini, adalah untuk kesekian kali, penjelasan ulang, untuk Si Romy yang istimewa dalam menangkap materi, perlu diperjelas berulang kali hingga mengerti. Dan aku menuntut diri untuk mencari cara lain yang lebih efektif, untuk membuatnya lebih mudah mengerti.

Kisah Si Romy dan murid-muridku yang serupa, ada banyak di kelas lain, membawa pesan penting hari ini. Aku jadi ingat nasihat Pak Adi Pratjaja, dosen Agama di kampus IKIP Malang dua pulu dua tahun lalu. Ada harga yang harus dibayar mahal oleh seorang guru yang ingin bertahan sampai garis akhir. Selain sanksi yang besar – karena apa yang dikatakan tidak sesuai dengan apa yang dilakukan -, upah yang diterima pun lebih kecil dari beban yang harus ditanggungnya. Mengajar murid, tidak berhenti sampai di jam pelajaran berakhir. Kadang masih harus menyisihkan waktu makan siang untuk membantu mereka paham. Kadang waktu untuk keluarga makin berkurang karena tak kuasa menolak pertanyaan dari mereka pascabel pulang.

Sudah seharusnya aku melakukan identifikasi murid-muridku. Di mana letak kelebihan dan kekurangan mereka. Belajar adalah mengalami kemajuan dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak baik menjadi baik. Mengajar bukanlah sekadar menyampaikan pesan, tapi lebih dari itu, mengajar adalah mentransformasi kehidupan. Bukan transfer pengetahuan, apalagi transaksi ilmu. Ada murid ‘tidak pintar’ dan ‘tidak baik’ mendaftar sekolah; seyogyanya kita terima dan kita sambut ramah! Untuk itu sebuah profesi GURU dilahirkan. Sayang, sekolah sekarang malah prioritaskan mencari murid pintar saja. Enggan terima murid ‘bodoh’ menurut anggapan orang. Apalagi menerima murid yang ‘bermasalah’ dengan sikap dan kelakuan. Menolak mereka adalah salah kaprah! Sekolah ada untuk mereka. Guru ada untuk mereka. Aku ada untuk mereka.

Aduuuh beratnya tugas ini......... Ayo semangat.....semangat! Begitulah aku berteriak kepada diriku sendiri malam ini, sebelum esok menghadapi masalah baru lagi.

Tidak ada komentar: