Jumat, 25 Juni 2010

HIDUPKAN KEMBALI BUDI PEKERTI DAN TATA KRAMA

Berikut obrolan singkat Adhi dengan Sugianto:
Sugianto, Ketua Badan Musyawarah Peguruan Swasta (BMPS) Wilayah Jawa Timur ini menyempatkan diri untuk berdialog dengan Suara Pendidikan. Pria kelahiran Kutoarjo pada 21 September 1947 itu memberikan beberapa masukan untuk pengembangan karakter bangsa. Ketika ditanya mengapa ia begitu sangat concern memberikan dirinya dalam pelayanan sebagai pengurus sebuah badan yang membawahi begitu banyak perguruan swasta di propinsi yang sangat dinamis ini, alumni civic hokum IKIP Negeri Surabaya ini menjawab, bahwa ia sering mempertanyakan mengapa pemerintah tidak begitu memberikan perhatian yang optimal kepada sekolah-sekolah swasta. Ia memandang hingga hari ini masih banyak lembaga pendidikan swasta yang diperlakukan secara tidak adil oleh pemerintah. Ia memberikan sebuah contoh, di kecamatan Widang Kabupaten Tuban Jatim, terdapat sebuah sekolah swasta yang sangat baik dan maju, memiliki banyak murid, dan menjadi pilihan bagi masyarakat di sekitar. Namun justru karena itu oleh pemerintah malah membuka sekolah negeri dengan biaya sekolah gratis di daerah tersebut. Oleh karena beridiri sekolah negeri, maka turun drastislah jumlah murid-murid sekolah tersebut, dan ini sangat mempengaruhi perjalanan pengembangan sekolah. Akhirnya sekolah menjadi terpuruk dan tidak berkembangan. Kualitas sekolah swasta yang semula sudah baik tersebut toh ternyata tidak tergantikan dengan adanya sekolah baru yang dibangun pemerintah.
Bapak tiga anak ini juga menyoroti, perlakuan tidak fair pemerintah yang member jatah 75 % untuk guru-guru sekolah negeri dan hanya 25 % untuk sekolah swasta. “Alasan pemerintah, diberi jatah sekian saja tidak dipergunakan secara maksimal, apalagi kalau lebih banyal. Padahal program sertifikasi guru ini dalam praktiknya masih kurang tersosialisasikan hingga ke tingkat daerah yang jauh dari perkotaan atau pusat pemerintahan. Masih banyak guru swasta yang tidak kebagian atau belum mendapat kesempatan, padahal persentasi guru negeri sudah sangat banyak yang telah ikut sertifikasi,” demikian tutur mantan Guru SMP-SMA Bayangkari, Sekolah Komparasi di Ketintang, dan SMP Santa Clara ini di antara waktu jeda workshop.
Menanggapi pelaksanaan Workshop Pembangunan Karakter oleh Dewan Pendidikan Jatim, pengurus PGRI ini mengatakan bahwa acara semacam ini sangat dibutuhkan. Kondisi bangsa sekarang ini sangat mengkuatirkan, perlu ada action konkrit untuk menghidupkan kembali nilai-nilai luhur bangsa yang penuh dengan etika, budi pekerti, dan tata karma yang selama ini sangat dikenal oleh bangsa-bangsa di dunia sebagai karakter bangsa Indonesia. Supaya pelaksanaan internalisasi nilai-nilai luhur bangsa ini dapat diterapkan dengan optimal, kita perlu memberdayakan stakeholder, semua elemen masyarakat, agar proses internalisasi lebih mantap. “Sampai saat ini pendidikan di Perguruan Tinggi baru sampai pada tataran ‘pandai secara teoretis’, pandai di teori, tetapi belum cakap dalam praktik. Sebelum tahun 1970-an pendidikan keguruan pernah mengalami masa penguasaan keterampilan secara mantap. Lulusan SGB (sekolah guru besar) sudah sangat mampu mengajar materi pelajaran dengan sangat baik, “ ujar mantan Kepala Dinas Pendidikan Madiun dan mantan Kepala Sub Bag Perlengkapan Dinas Propinsi Jawa Timur.
Sugianto memberi contoh, ketika ia mengunjungi anaknya yang tinggal di Singapura, anaknya sebagai Konsultan IT di negeri Singa itu, ia sangat terkagum-kagum melihat beberapa fakta yang sangat menginspirasinya. Pejalan kaki di sana mendapat tempat yang layak, aman, dan nyaman. Penumpang bus selalu masuk lewat pintu depan, dan keluar lewat pintu belakang. Di negeri dengan banyak gedung-gedung pencakar langit itu, ia sering menemukan burung-burung beterbangan, dan bahkan banyak burung yang sesekali mendarat di peridestrian, lokasi pejalan kaki, atau jalan umum dengan sengaja mematuk makanan, dan seolah bercengkerama dengan riang, padahal ada banyak orang/pejalan kaki di sekitarnya. Bandingkan dengan di Indonesia, burung seekor saja hinggap di agar taman, pasti udah ditangkap, atau dibunuh. Kenapa kita sering tidak agar isiplin? Karena kita terlalu sering dicekoki oleh informasi-informasi yang tidak membangun, tapi justru malah melemahkan.
Suami dari Maria Tecla, pensiunan guru SMAN 15 Surabaya ini, sangat apresiatif terhadap nilai-nila yang dulu pernah dikembangkan dalam pendidikan pancasila. “Nilai-nilai karakter bangsa yang pernah ditanamkan lewat penataran P4 sebenarnya sangat bagus. Nilai-nilai tersebut perlu ditinjau kembali, lalu diinternalisasikan lagi agar bisa ditumbuhkembangkan. Kita perlu menghidupkan kembali ‘budaya-budaya daerah’ yang pernah memperkaya bangsa kita sebagai bangsa penuh dengan sopan santun dan saling menghargai. Jangan sampai bangsa lain yang justru lebih menghargai budaya kita dan ujung-ujungnya suatu saat produk budaya itu bisa diklaim sebagai haknya. Di Singapura, angklung telah menjadi salah satu jenis budaya yang dipelajari di sekolah. Bahasa kawi bahkan menjadi salah satu pilihan bagi murid-murid Singapura. Kita perlu berhati-hati, karena bahasa jawa sedang mereka pelajari. Ini kan aneh, justru orang asing yang mempelajari bahada daerah kita. Di Singapura terdapat sedikit tempat ibadah, namun yang menakjubkan, ada banyak produk pendidikan yang sangat bagus.”
Menutup perbincangan dengan Suara Pendidikan, Sugianto berpesan untuk guru-guru,” Jadilah guru yang benar, harus benar-benar bisa di-gugu (didengar, ditaati) dan di-tiru (diteladani).” Kita perlu meneladani moto hidup, salah satu pakar pendidikan dari Surabaya ini,” hidup ini adalah sebagai pemimpin yang melayani, dan sebagai pelayanan yang memimpin.” Selamat berjuang untuk masyrakat pendidikan, Pak Gik! Tuhan memberkati pelayanan Anda. (adhi kristijono)

Tidak ada komentar: